Masa Depan Jurnalisme: Peran AI dalam Produksi dan Distribusi Berita

Dalam era modern yang dipenuhi teknologi, perdebatan mengenai peran kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pekerjaan dan media semakin mencuat. Penerapan AI dalam berbagai bidang, termasuk industri media, memunculkan pertanyaan kritis tentang dampaknya terhadap pekerjaan manusia, kualitas berita yang dihasilkan, serta implikasi etika dan regulasi.

Salah satu contoh konkrit pemanfaatan AI dalam industri media adalah kehadiran AI sebagai pembawa berita di saluran TV1. Karni Ilias, seorang presenter terkemuka, muncul dalam bentuk avatar AI, menandai tonggak sejarah sebagai presenter AI pertama di Indonesia. Mesin kecerdasan buatan yang digunakan oleh TV1.ai membuka diskusi luas tentang evolusi media dan dampaknya terhadap profesi yang selama ini diisi oleh manusia.

Pendukung AI dalam media menyoroti potensi efisiensi yang dihasilkan. Penggunaan AI dalam produksi berita telah membantu beberapa media besar, termasuk Associated Press dan Washington Post, meningkatkan jumlah pemberitaan secara drastis. Sejak menggandeng AI pada tahun 2014, Associated Press melaporkan peningkatan jumlah pemberitaan hingga 100 kali lipat. Ini menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alat bantu yang kuat dalam proses produksi berita.

Namun, meskipun AI membawa keuntungan dalam efisiensi produksi, beberapa pertanyaan etis dan praktis muncul. Seberapa jauh AI dapat menggantikan peran jurnalis manusia? Apakah keberadaan AI dapat menghasilkan berita yang setara dengan kualitas yang dihasilkan oleh manusia? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab dengan cermat untuk memahami dampak sebenarnya dari kemajuan teknologi ini.

Proses produksi berita yang melibatkan AI, atau yang sering disebut sebagai jurnalisme robot, telah menjadi tren di berbagai negara. Heliograf, reporter robot milik Washington Post, dan Berti, milik The Guardian Australia, adalah contoh implementasi AI dalam membuat kerangka liputan dan draft kasar. Namun, penting untuk dicatat bahwa kehadiran AI tidak sepenuhnya menggantikan peran manusia. Justru, AI bekerja sebagai mitra untuk mempercepat dan menyempurnakan proses kreatif jurnalis.

Dalam lingkup distribusi berita, TV1 di Indonesia menjadi salah satu contoh media yang memanfaatkan AI. Proses distribusi berita yang melibatkan AI membuka diskusi lebih lanjut tentang kepercayaan publik terhadap informasi yang disajikan oleh avatar AI. Beberapa riset menunjukkan bahwa publik mungkin cenderung kurang percaya terhadap berita yang disampaikan oleh AI daripada berita yang disampaikan oleh manusia. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan AI untuk merasakan empati atau memiliki sudut pandang subjektif.

Namun, di sisi lain, ada pandangan positif yang menyatakan bahwa berita yang dihasilkan oleh AI lebih obyektif dan akurat karena tidak dipengaruhi oleh keinginan atau agenda tertentu. Keberadaan AI dapat menghasilkan berita yang terbebas dari bias manusia, yang seringkali dapat memengaruhi interpretasi suatu kejadian.

Pertanyaan etika dan regulasi menjadi semakin penting seiring dengan perkembangan AI dalam industri media. Indonesia, seperti banyak negara lain, belum memiliki regulasi yang jelas terkait penggunaan AI dalam jurnalisme. Dokumen strategi nasional untuk kecerdasan buatan mengakui ketiadaan regulasi khusus untuk AI, dan lembaga pengawasnya juga belum diakui sebagai subjek hukum. Ini menciptakan celah hukum yang perlu diisi agar penggunaan AI dalam media dapat berlangsung dengan transparan dan etis.

Uni Eropa, sebagai perbandingan, telah mengimplementasikan regulasi yang lebih konkret terkait kecerdasan buatan. Beberapa hal yang diatur melibatkan penggunaan pengenalan emosi yang dilarang dalam penegakan hukum, serta pembatasan terhadap proses penyelidikan polisi yang berdasarkan pada profil lokasi atau perilaku kriminal di masa lalu. Hal ini mencerminkan upaya untuk menghindari penyalahgunaan kecerdasan buatan dalam ranah yang bersifat sensitive dan rentan terhadap bias.

Kritik terhadap AI dalam distribusi berita juga mencakup potensi terbentuknya gelembung informasi. Dengan algoritma yang cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan kepercayaan yang sudah dimiliki oleh pengguna, terdapat risiko bahwa orang akan terpapar hanya pada sudut pandang yang sudah diterima dan memperdalam polarisasi opini.

Namun, penting untuk diingat bahwa keberhasilan AI dalam menghasilkan informasi yang akurat dan obyektif tergantung pada data yang digunakan sebagai bahan pembelajaran. Jika data yang digunakan bersifat bias atau terbatas, AI akan mereproduksi bias tersebut dalam hasilnya. Oleh karena itu, transparansi dalam penggunaan dan pengolahan data menjadi kunci untuk memastikan bahwa AI dapat berfungsi secara adil dan memberikan kontribusi positif dalam penyampaian berita.

Sumber Gambar: Kompasiana

Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah menuju literasi AI dan pemahaman masyarakat tentang penggunaannya perlu ditingkatkan. Adanya lowongan pekerjaan untuk reporter AI di sebuah media di Inggris menunjukkan bahwa AI memerlukan pengawasan dan supervisi manusia. Kesadaran masyarakat tentang risiko dan manfaat AI dalam media harus ditingkatkan agar mereka dapat memahami dan menanggapi perkembangan ini dengan bijak.

Dengan demikian, penggunaan AI dalam industri media memunculkan sejumlah pertanyaan yang memerlukan diskusi mendalam. Dari perdebatan mengenai efisiensi produksi hingga kepercayaan publik terhadap berita yang dihasilkan oleh AI, tantangan dan peluang terus muncul. Penting untuk mengembangkan regulasi yang jelas, meningkatkan literasi AI masyarakat, dan terus mengawasi perkembangan teknologi ini agar dampaknya dapat dioptimalkan secara positif.