Selamat Datang di website Al Ibrohimy
Dilema ‘No Viral, No Justice’: Kisah Perjuangan Ipin di Bangkalan
Oleh: Moh Samsul Arifin.
Belakangan ini, istilah “No viral no justice” semakin mencuat, mengundang pertanyaan seputar seberapa besar dampak viral di media sosial terhadap perhatian pemerintah terhadap masyarakat berkebutuhan (tidak mampu) atau bahkan penanganan kasus. Di balik keriuhan itu, terdapat kisah perjuangan Ipin, seorang remaja di Bangkalan, yang harus merelakan sekolahnya untuk merawat adik-adik dan ibunya yang mengalami gangguan jiwa.

Ipin, yang berusia 15 tahun, menjadi tulang punggung keluarganya setelah sang ayah dipenjara. Keempat adiknya, termasuk bayi yang meninggal dunia karena sakit tanpa biaya berobat, menjadi tanggung jawab berat bagi Ipin. Kisah ini terkuak melalui cerita Kulsum, (yang mebuat kisah ini viral melalui media sosial) seorang guru di SD Negeri Longkek 1, Kecamatan Galis, Bangkalan.
Menurut Kulsum, Ipin tidak bisa melanjutkan sekolah karena harus mengurus keempat adiknya dan ibunya yang seringkali mengalami depresi. Ayahnya yang berada di lembaga pemasyarakatan membuat Ipin bertanggung jawab atas segala urusan rumah tangga, termasuk memasak, memandikan adik-adiknya, dan bahkan merawat ibunya yang sedang dalam kondisi sulit.
“Ipin melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri, termasuk merawat ibunya yang bisa kapan saja ngamuk-ngamuk (marah). Ayahnya ada di lapas, semuanya Ipin yang mengerjakan. Adik bungsu Ipin meninggal karena sakit tanpa pengobatan,” jelas Kulsum.
Cerita Ipin mendapatkan sorotan setelah viral di media sosial, dan mendapatkan bantual dari pemeriantah dan atau perusahaan swasta, kisah perjuangannya menjadi refleksi atas tantangan yang dihadapi oleh banyak individu di masyarakat. Istilah “No Viral, No Justice” menjadi bahan diskusi, kisah Ipin menyoroti kompleksitas dalam mencari keadilan melalui media sosial.
Pertanyaannya sekarang, mengapa masyarakat lebih memilih kekuatan netizen di media sosial daripada aparat penegak hukum? Media sosial memiliki daya pengaruh besar sebagai sumber informasi, dapat mengubah arah keadilan hukum bagi korban, dan memperhatikan kasus yang mungkin terabaikan.
Menurut Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Siti Mazumah, masyarakat mencari bantuan eksternal karena kurangnya kepercayaan pada aparat penegak hukum. Maraknya kasus yang diviralkan di media sosial, menurutnya, adalah bentuk respon terhadap penegakan hukum yang dianggap stagnan. (remotivi)
Sebagai contoh kasus lainnya, kasus Pandeglang, Banten, yang melibatkan seorang mahasiswi sebagai korban pemerkosaan dan penyebaran gambar tanpa persetujuan. Kasus ini menjadi perhatian publik setelah diungkapkan oleh kakak korban melalui Twitter. Namun, dalam proses persidangan, keluarga korban mengalami kesulitan dan ketidakpuasan terhadap penanganan kasus oleh jaksa.
Siti Mazumah menegaskan bahwa Kejaksaan Agung sebenarnya sudah memiliki pedoman, namun, perlu adanya evaluasi internal agar pedoman itu diikuti dengan benar. Dia juga menanggapi kasus Pandeglang dengan prihatin, menyatakan bahwa jaksa seharusnya mendukung korban, bukan meminta mereka untuk memaafkan.
Meskipun speak up di media sosial dapat membuat penanganan kasus lebih cepat, Siti Mazumah mengingatkan bahwa itu bukanlah pilihan yang mudah bagi korban. Selain risiko ancaman dari pelaku, UU ITE sebagai pasal karet juga perlu diwaspadai. Ia memberikan saran agar korban memahami risiko UU ITE, melaporkan oknum aparat yang lambat merespon, dan mencari lembaga pendamping korban sebelum memutuskan untuk bersuara di media sosial.
Dalam menghadapi ketidakpastian keadilan, Siti Mazumah menyoroti pentingnya masyarakat untuk mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan. Ia menegaskan bahwa kasus yang menjadi viral seharusnya dijadikan masukan dan evaluasi, bukan sebagai alasan untuk membatasi hak masyarakat dalam mencari keadilan.